Pengembara, pengembara keliling indonesia, gorontalo, travel, travelling, backpacker, jelajah indonesia, keliling indonesia
Perjalanan di Gorontalo (2 - Habis)
Pengembara masuk koran Gorontalo pos pada 29 juni 2015 dan ada videonya juga dapat dilihat https://www.youtube.com/watch?v=2peqKN_zN04
Bapak Batak dan 'Jebakan' Gorontalo Pos
USAI menikmati indahnya puncak Kwandang atau puncak panorama saya melanjutkan perjalanan untuk menapaki trip selanjutnya, Gorontalo.
Setelah lelah harus menghadapi jalan yang berkelok dan berliku sepanjang perjalanan, sekitar pukul 19.00 WIB saya tiba di Gorontalo.
Ngomong-ngomong, 2 bule Jerman tadi masih setia bersama saya, karena tujuannya pun sama, kami bertiga juga masih saling 'raba-raba' di lokasi baru ini. Beruntunglah saya, lagi-lagi saya punya kawan lama di Gorontalo, namanya Rahmat. Rahmat adalah kawan saya semasa kuliah dulu.
Setelah berhasil menghubungi Rahmat kamipun sepakat untuk bertemu di Simpang Lima Gorontalo.
Sekedar cerita saja, saya dan Rahmat ini sudah tidak bertemu 6 tahun lamanya. Kalau tidak salah terakhir bertemu saat kami sama-sama wisuda. Dan sedikit rahasia saja, bahwa Rahmat adalah andalan saya untuk bantu tugas kuliah khususnya bagian gambar-menggambar, Rahmat jago kalau urusan menggambar. Jujur saja, saya dan kita semua pasti paling ingat dengan teman yang pintar di kelas apalagi sering bantu tugas, hehehe.
Tiba di lokasi yang sudah kami janjikan, akhirnya teman lama yang 6 tahun tak bertemu kembali bertatap muka. Pelukan hangat dari 2 sahabat lama ternyata membuat 2 bule yang ikut kami ketawa-ketawa, mungkin dipikirnya, oh begini kalau orang Indonesia kangen-kangenan. Ah, terserahlah.
Nah, dari situlah saya dan 2 bule Jerman tadi harus berpisah, karena masing-masing sudah punya tujuan. Kami berpisah dan tetap saling berharap obrolan selama perjalanan bisa jadi bahan masukan untuk kami bertiga.
Singkat kata, saya sudah di depan pintu rumah Rahmat. Rahmat tahu betul bahwa saya capek, ia persilakan saya untuk beristirahat di kamar yang telah dipersiapkan khusus.
Tanpa membuat waktu saya langsung membereskan peralatan 'tempur' saya yang berada di dalam tas ransel.
Lalu saat malam hari mulai berani menunjukkan dirinya, saya dan Rahmat duduk santai di teras depan rumah. Banyak cerita yang kami bagi, karena waktu 6 tahun tentu seabrek pengalaman yang bisa kami bagi, terlebih kami selingi dengan nostalgia-nostalgia masa kuliah, jadilah malam panjang itu menjadi malam nostalgia. Kami bahkan membuka lagi kenangan-kenangan seperti bagaimana salah seorang dosen kami Bapak Lucky Hendrawan, semoga dia membaca ini dan tahu apa yang saya maksud, hahaha, kejayaan sesama kuliah terekam jelas di otak kami malam itu sampai tak terasa jam di dinding menjunjuk angka 2, yang artinya saya harus benar-benar melemaskan otot.
Foto saya bersama Rahmat, istrinya citra anaknya raksa beserta keponakanya
Paginya, 27 Juni sekitar pukul 09.00 WIB, pagi pertama saya di Gorontalo. Beberapa hari sebelumnya saya bangun di jam yang sama namun kondisinya beda, saat di Tomohon jam segitu masih terasa dingin menusuk tulang sehingga kita terkadang masih kepingin malas-malasan.
Tapi kalau di Gorontalo cuacanya sedikit hangat. Tapi jangan salah, justru cuaca yang seperti ini yang saya inginkan. Hangat seperti bangun pagi di Jakarta membuat saya bersemangat.
Bukan saya ingin mengajar atau sok tahu, tapi percayalah, saat kita memilih hidup dengan cara mengembara seperti yang sedang saya lakukan, hal yang tersulit bukanlah bertahan hidup, melainkan bagaimana kita harus bisa beradaptasi terhadap lingkungan yang baru dalam waktu sesingkat-singkatnya. Karena setiap orang yang saya temui berbeda karakter sehingga dalam waktu sepersekian detik, saya harus bisa langsung beradaptasi.
Loh? Kok saya bahas itu?
Ya, jelas. Karena saat masih berada di kamar di rumah Rahmat saya punya rencana untuk minum di kamar saja setelah mandi. Karena saya beranggapan lebih baik saya berbincang dan ngobrol dengan keluarga Rahmat setelah semuanya santai.
Tapi, rencana saya buyar begitu saja saat mau menuju kamar mandi, saya melihat ayah Rahmat sedang berbincang serius dengan temannya, ada beberapa gelas kopi saya lihat berbaris di meja tempat mereka ngobrol, itu kopi buatan Citra, istri teman saya Rahmat.
Nah, di sinilah saya bilang dalam kondisi seperti ini harus bisa beradaptasi dengan cepat. Mendengar nama saya disapa, sayapun perlahan mendekat, lalu dipersilakan duduk, diperkenalkan lalu semuanya mengalir begitu saja, ngobrol dan saya pun larut di obrolan tersebut.
Saya akui, keluarga Rahmat adalah salah satu contoh keluarga yang terbuka. Bapaknya Rahmat ternyata masih kental watak orang Bataknya.
Banyak kisah dan cerita yang kami aduk rata dalam obrolan ringan pagi itu. Semua masalah dari A sampai Z bangsa ini kami paksakan masuk ke pembicaraan ringan itu, mulai dari sosok Gus Dur, Soekarno sampai persoalan agama pun tak luput dari obrolan yang harusnya santai.
Bapaknya Rahmat ini adalah orang yang punya pengalaman di dunia pertambangan selama 42 tahun!. Jadi, wajarlah apa yang ia ceritakan ke saya soal pertambangan di Indonesia ini masuk akal dan membuat saya berpikir, selama ini banyak pihak-pihak lain hanya menelurkan asumsi-asumsi saja demi eksis.
Banyak masalah tambang yang ia ceritakan, ia bagi ke saya cerita sebenarnya dari onak-duri tambang seperti Lapindo contohnya. Karena menurut bapak, Lapindo itu sebenarnya adalah sebuah kecelakaan alam. Dia mengatakan sifatnya tambang apa yang kau gali maka itulah yang keluar.
"Kau gali tanah dengan bor dan masuk lalu menyentuh emas, maka emas yang kau dapat, gas yang kau bor maka gas yang kau dapat, kalau kau bor lumpur maka lumpur yang kau dapat," itu kata bapak.
Setelah banyak mendengar cerita dari pengalaman bapak, saya berfikir bahwa memang benar selama ini banyak orang yang cuma berasumsi terhadap suatu peristiwa tanpa merasakan terlibat langsung dan seolah-olah mengerti permasalahan.
Sore berganti, saya berdiskusi panjang dengan Rahmat, kami memacu motor menuju salah satu daerah yang pemandangannya luar biasa.
Di tempat itu, selain saya habiskan untuk memotret keindahan alam, juga kami selingi dengan pembicaraan 2 sahabat yang berbagi kisah kehidupan. Banyak kisah yang diceritakan Rahmat, bagaimana dia jatuh-bangun, sempat lemah tak berdaya menghadapi goncangan dan badai hidup.
Dari semua kisah yang diceritakan Rahmat semakin membuat mata hati saya terbuka lebar, bahwa perjalanan yang saya lakoni ini bukanlah semata keinginan panjang saya dan hasrat untuk menggapai nawacita, tapi ternyata, ada sisi lain dari perjalan ini yang saya tarik, bahwa perjalanan hidup orang lain menambah khasanah saya pribadi, untuk ke depan agar bisa bisa menghadapi kendala hidup, mulai dari bagaimana menjalani hidup berkeluarga, toleransi beragama maupun bagaimana tetap tersenyum saat kesusahan sedang menari-nari di altar pikiran kita.
Karena saya sudah punya semua cerita itu. Itulah inti dari perjalanan saya.
Mulai dari membangun keluarga, toleransi beragama, hidup yang selalu memiliki kecerian walaupun kau tertimpa masalah besar sekalipun.
28 Juni
Tadi di atas saya pernah singgung bahwa keluarga Rahmat adalah keluarga yang terbuka dan keluarga yang boleh saya bilang cuek-bebek.
Di keluarga Rahmat semuanya hampir dilakukan masing-masing, mau makan, ya urus sendiri, mau apa-apa ya urus sendiri.
Sampai-sampai saya sempat kagok dengan kondisi seperti itu. Wajar saja, karena saya berada di keluarga baru yang belum pernah sekalipun saya ketahui kecuali Rahmat.
Ada cerita lucu. Satu waktu perut saya benar-benar lapar, tapi sebagai tamu yang baik dan sopan saya harus menunggu tuan rumah yang menawarkan, karena biasanya memang begitu. Tapi jam berganti jam, detik berganti detik Rahmat belum juga bangun, baru jam 3 sore Rahmat bangun.
Jadi, saya menahan lapar dari pagi sampai jam 3 sore. Lalu Rahmat mendatangi saya dan bertanya apakah saya lapar, lalu saya jawab dengan anggukan halus sambil menyinyirkan senyuman kecut orang kelaparan. Lalu kami terbahak-bahak, Rahmat merasa lucu melihat saya yang kelaparan.
Nah, dari situlah baru saya sadar bahwa di keluarga ini semuanya serba terbuka. Semua harus diurus sendiri dan tidak perlu menunggu basa-basi dari tuan rumah. Ah, kalau tahu begini mungkin saya tidak kelaparan sampai jam 3 sore hahaha.
Oiya. Hari itu sekitar jam 4 sore mungkin, saya diajak oleh Rahmat dan istrinya untuk mengunjungi sebuah benteng. Benteng itu cukup unik, dari masuk pertama saja kita sudah disuguhi arsitektur dan warna-warna jaman kolonial. Keren!. Kita cukup bayar Rp 100 ribu maka kita bisa leluasa mengembara di benteng itu sampai ke puncak-puncaknya.
Dari benteng itu sejauh mata memandang kita disuguhi pemandangan yang memanjakan mata, ada danau Limboto menjajarkan air birunya yang makin indah memantulkan sinar matahari, lalu ada rumah-rumah tempat tambak ikan. Keindahan sore itu disempurnakan dengan sunset yang luar biasa. Keindahan apa lagi yang dapat kau sangsikan.
29 Juni
Pagi itu saya memberanikan diri mengirim pesan singkat ke Mas Abie. Dia ini orang yang baru saya kenal lewat media sosial melalui kawan saya Hadi Sutris, seorang desain grafis di koran Babel Pos di Bangka Belitung.
Gayung pun bersambut. Mas Abie membalas pesan singkat saya dengan mengundang saya datang ke kantornya Gorontalo Pos, kebetulan satu grup dengan tempat kerja teman saya Hadi tadi. Lagi-lagi teman saya Rahmat setia menemani saya, lagian juga ternyata Rahmat adalah alumni Gorontalo Pos, jadi, paslah kalau Rahmat ikut, setidaknya saya tidak nyasar pintu masuk.
Bertemu dengan Mas Abie, orangnya supel, enak diajak ngobrol. Tapi tenyata saya baru sadar dari sepanjang kami mengobrol itu Mas Abie ternyata mewawancarai saya! Hahaha.
Ah, saya pikir ini yang namanya sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui. Niat hati hanya ingin besapa dan bersilaturahmi tapi dikasih bonus wawancara.
Oh, ini artinya saya punya jalan singkat lainnya untuk lebih menguatkan diri saya terutama di sosial media. Lumayanlah, hitung-hitung jadi pelajaran kalau saja nanti ada wawancara lainnya. Mas Abie meminta saya untuk menceritakan kisah saya, semua diminta Mas Abie untuk dikupas tuntas.
Ternyata bukan hanya untuk koran saja, kata Mas Abie sekalian juga untuk acara tv Gorontalo Pos. Waw! Saya merasa tersanjung! Mak, anakmu masuk tipi, Mak!. (**)
Foto seputar Gorontalo
Transportasi yang sering dijumpai digorontalo Becak motor
Story by: Moonstar Simanjuntak
Editor: Eka Mahendra Putra
Pengembara masuk koran Gorontalo pos pada 29 juni 2015 dan ada videonya juga dapat dilihat https://www.youtube.com/watch?v=2peqKN_zN04
Bapak Batak dan 'Jebakan' Gorontalo Pos
USAI menikmati indahnya puncak Kwandang atau puncak panorama saya melanjutkan perjalanan untuk menapaki trip selanjutnya, Gorontalo.
Setelah lelah harus menghadapi jalan yang berkelok dan berliku sepanjang perjalanan, sekitar pukul 19.00 WIB saya tiba di Gorontalo.
Ngomong-ngomong, 2 bule Jerman tadi masih setia bersama saya, karena tujuannya pun sama, kami bertiga juga masih saling 'raba-raba' di lokasi baru ini. Beruntunglah saya, lagi-lagi saya punya kawan lama di Gorontalo, namanya Rahmat. Rahmat adalah kawan saya semasa kuliah dulu.
Setelah berhasil menghubungi Rahmat kamipun sepakat untuk bertemu di Simpang Lima Gorontalo.
Sekedar cerita saja, saya dan Rahmat ini sudah tidak bertemu 6 tahun lamanya. Kalau tidak salah terakhir bertemu saat kami sama-sama wisuda. Dan sedikit rahasia saja, bahwa Rahmat adalah andalan saya untuk bantu tugas kuliah khususnya bagian gambar-menggambar, Rahmat jago kalau urusan menggambar. Jujur saja, saya dan kita semua pasti paling ingat dengan teman yang pintar di kelas apalagi sering bantu tugas, hehehe.
Tiba di lokasi yang sudah kami janjikan, akhirnya teman lama yang 6 tahun tak bertemu kembali bertatap muka. Pelukan hangat dari 2 sahabat lama ternyata membuat 2 bule yang ikut kami ketawa-ketawa, mungkin dipikirnya, oh begini kalau orang Indonesia kangen-kangenan. Ah, terserahlah.
Nah, dari situlah saya dan 2 bule Jerman tadi harus berpisah, karena masing-masing sudah punya tujuan. Kami berpisah dan tetap saling berharap obrolan selama perjalanan bisa jadi bahan masukan untuk kami bertiga.
Singkat kata, saya sudah di depan pintu rumah Rahmat. Rahmat tahu betul bahwa saya capek, ia persilakan saya untuk beristirahat di kamar yang telah dipersiapkan khusus.
Tanpa membuat waktu saya langsung membereskan peralatan 'tempur' saya yang berada di dalam tas ransel.
Lalu saat malam hari mulai berani menunjukkan dirinya, saya dan Rahmat duduk santai di teras depan rumah. Banyak cerita yang kami bagi, karena waktu 6 tahun tentu seabrek pengalaman yang bisa kami bagi, terlebih kami selingi dengan nostalgia-nostalgia masa kuliah, jadilah malam panjang itu menjadi malam nostalgia. Kami bahkan membuka lagi kenangan-kenangan seperti bagaimana salah seorang dosen kami Bapak Lucky Hendrawan, semoga dia membaca ini dan tahu apa yang saya maksud, hahaha, kejayaan sesama kuliah terekam jelas di otak kami malam itu sampai tak terasa jam di dinding menjunjuk angka 2, yang artinya saya harus benar-benar melemaskan otot.
Foto saya bersama Rahmat, istrinya citra anaknya raksa beserta keponakanya
Paginya, 27 Juni sekitar pukul 09.00 WIB, pagi pertama saya di Gorontalo. Beberapa hari sebelumnya saya bangun di jam yang sama namun kondisinya beda, saat di Tomohon jam segitu masih terasa dingin menusuk tulang sehingga kita terkadang masih kepingin malas-malasan.
Tapi kalau di Gorontalo cuacanya sedikit hangat. Tapi jangan salah, justru cuaca yang seperti ini yang saya inginkan. Hangat seperti bangun pagi di Jakarta membuat saya bersemangat.
Bukan saya ingin mengajar atau sok tahu, tapi percayalah, saat kita memilih hidup dengan cara mengembara seperti yang sedang saya lakukan, hal yang tersulit bukanlah bertahan hidup, melainkan bagaimana kita harus bisa beradaptasi terhadap lingkungan yang baru dalam waktu sesingkat-singkatnya. Karena setiap orang yang saya temui berbeda karakter sehingga dalam waktu sepersekian detik, saya harus bisa langsung beradaptasi.
Loh? Kok saya bahas itu?
Ya, jelas. Karena saat masih berada di kamar di rumah Rahmat saya punya rencana untuk minum di kamar saja setelah mandi. Karena saya beranggapan lebih baik saya berbincang dan ngobrol dengan keluarga Rahmat setelah semuanya santai.
Tapi, rencana saya buyar begitu saja saat mau menuju kamar mandi, saya melihat ayah Rahmat sedang berbincang serius dengan temannya, ada beberapa gelas kopi saya lihat berbaris di meja tempat mereka ngobrol, itu kopi buatan Citra, istri teman saya Rahmat.
Nah, di sinilah saya bilang dalam kondisi seperti ini harus bisa beradaptasi dengan cepat. Mendengar nama saya disapa, sayapun perlahan mendekat, lalu dipersilakan duduk, diperkenalkan lalu semuanya mengalir begitu saja, ngobrol dan saya pun larut di obrolan tersebut.
Saya akui, keluarga Rahmat adalah salah satu contoh keluarga yang terbuka. Bapaknya Rahmat ternyata masih kental watak orang Bataknya.
Banyak kisah dan cerita yang kami aduk rata dalam obrolan ringan pagi itu. Semua masalah dari A sampai Z bangsa ini kami paksakan masuk ke pembicaraan ringan itu, mulai dari sosok Gus Dur, Soekarno sampai persoalan agama pun tak luput dari obrolan yang harusnya santai.
Bapaknya Rahmat ini adalah orang yang punya pengalaman di dunia pertambangan selama 42 tahun!. Jadi, wajarlah apa yang ia ceritakan ke saya soal pertambangan di Indonesia ini masuk akal dan membuat saya berpikir, selama ini banyak pihak-pihak lain hanya menelurkan asumsi-asumsi saja demi eksis.
Banyak masalah tambang yang ia ceritakan, ia bagi ke saya cerita sebenarnya dari onak-duri tambang seperti Lapindo contohnya. Karena menurut bapak, Lapindo itu sebenarnya adalah sebuah kecelakaan alam. Dia mengatakan sifatnya tambang apa yang kau gali maka itulah yang keluar.
"Kau gali tanah dengan bor dan masuk lalu menyentuh emas, maka emas yang kau dapat, gas yang kau bor maka gas yang kau dapat, kalau kau bor lumpur maka lumpur yang kau dapat," itu kata bapak.
Setelah banyak mendengar cerita dari pengalaman bapak, saya berfikir bahwa memang benar selama ini banyak orang yang cuma berasumsi terhadap suatu peristiwa tanpa merasakan terlibat langsung dan seolah-olah mengerti permasalahan.
Sore berganti, saya berdiskusi panjang dengan Rahmat, kami memacu motor menuju salah satu daerah yang pemandangannya luar biasa.
Di tempat itu, selain saya habiskan untuk memotret keindahan alam, juga kami selingi dengan pembicaraan 2 sahabat yang berbagi kisah kehidupan. Banyak kisah yang diceritakan Rahmat, bagaimana dia jatuh-bangun, sempat lemah tak berdaya menghadapi goncangan dan badai hidup.
Dari semua kisah yang diceritakan Rahmat semakin membuat mata hati saya terbuka lebar, bahwa perjalanan yang saya lakoni ini bukanlah semata keinginan panjang saya dan hasrat untuk menggapai nawacita, tapi ternyata, ada sisi lain dari perjalan ini yang saya tarik, bahwa perjalanan hidup orang lain menambah khasanah saya pribadi, untuk ke depan agar bisa bisa menghadapi kendala hidup, mulai dari bagaimana menjalani hidup berkeluarga, toleransi beragama maupun bagaimana tetap tersenyum saat kesusahan sedang menari-nari di altar pikiran kita.
Karena saya sudah punya semua cerita itu. Itulah inti dari perjalanan saya.
Mulai dari membangun keluarga, toleransi beragama, hidup yang selalu memiliki kecerian walaupun kau tertimpa masalah besar sekalipun.
28 Juni
Tadi di atas saya pernah singgung bahwa keluarga Rahmat adalah keluarga yang terbuka dan keluarga yang boleh saya bilang cuek-bebek.
Di keluarga Rahmat semuanya hampir dilakukan masing-masing, mau makan, ya urus sendiri, mau apa-apa ya urus sendiri.
Sampai-sampai saya sempat kagok dengan kondisi seperti itu. Wajar saja, karena saya berada di keluarga baru yang belum pernah sekalipun saya ketahui kecuali Rahmat.
Ada cerita lucu. Satu waktu perut saya benar-benar lapar, tapi sebagai tamu yang baik dan sopan saya harus menunggu tuan rumah yang menawarkan, karena biasanya memang begitu. Tapi jam berganti jam, detik berganti detik Rahmat belum juga bangun, baru jam 3 sore Rahmat bangun.
Jadi, saya menahan lapar dari pagi sampai jam 3 sore. Lalu Rahmat mendatangi saya dan bertanya apakah saya lapar, lalu saya jawab dengan anggukan halus sambil menyinyirkan senyuman kecut orang kelaparan. Lalu kami terbahak-bahak, Rahmat merasa lucu melihat saya yang kelaparan.
Nah, dari situlah baru saya sadar bahwa di keluarga ini semuanya serba terbuka. Semua harus diurus sendiri dan tidak perlu menunggu basa-basi dari tuan rumah. Ah, kalau tahu begini mungkin saya tidak kelaparan sampai jam 3 sore hahaha.
Oiya. Hari itu sekitar jam 4 sore mungkin, saya diajak oleh Rahmat dan istrinya untuk mengunjungi sebuah benteng. Benteng itu cukup unik, dari masuk pertama saja kita sudah disuguhi arsitektur dan warna-warna jaman kolonial. Keren!. Kita cukup bayar Rp 100 ribu maka kita bisa leluasa mengembara di benteng itu sampai ke puncak-puncaknya.
Dari benteng itu sejauh mata memandang kita disuguhi pemandangan yang memanjakan mata, ada danau Limboto menjajarkan air birunya yang makin indah memantulkan sinar matahari, lalu ada rumah-rumah tempat tambak ikan. Keindahan sore itu disempurnakan dengan sunset yang luar biasa. Keindahan apa lagi yang dapat kau sangsikan.
Benteng Otanaha di gorontalo
pemandangan dari puncakBenteng Otanaha
29 Juni
Pagi itu saya memberanikan diri mengirim pesan singkat ke Mas Abie. Dia ini orang yang baru saya kenal lewat media sosial melalui kawan saya Hadi Sutris, seorang desain grafis di koran Babel Pos di Bangka Belitung.
Gayung pun bersambut. Mas Abie membalas pesan singkat saya dengan mengundang saya datang ke kantornya Gorontalo Pos, kebetulan satu grup dengan tempat kerja teman saya Hadi tadi. Lagi-lagi teman saya Rahmat setia menemani saya, lagian juga ternyata Rahmat adalah alumni Gorontalo Pos, jadi, paslah kalau Rahmat ikut, setidaknya saya tidak nyasar pintu masuk.
Bertemu dengan Mas Abie, orangnya supel, enak diajak ngobrol. Tapi tenyata saya baru sadar dari sepanjang kami mengobrol itu Mas Abie ternyata mewawancarai saya! Hahaha.
Ah, saya pikir ini yang namanya sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui. Niat hati hanya ingin besapa dan bersilaturahmi tapi dikasih bonus wawancara.
Oh, ini artinya saya punya jalan singkat lainnya untuk lebih menguatkan diri saya terutama di sosial media. Lumayanlah, hitung-hitung jadi pelajaran kalau saja nanti ada wawancara lainnya. Mas Abie meminta saya untuk menceritakan kisah saya, semua diminta Mas Abie untuk dikupas tuntas.
Ternyata bukan hanya untuk koran saja, kata Mas Abie sekalian juga untuk acara tv Gorontalo Pos. Waw! Saya merasa tersanjung! Mak, anakmu masuk tipi, Mak!. (**)
Foto seputar Gorontalo
Transportasi yang sering dijumpai digorontalo Becak motor
Tumbilotohe adalah perayaan yang menandakan berakhirnya Ramadan di Gorontalo. Perayaan ini dirayakan pada 3 malam terakhir menjelang hari raya Idul fitri
Desa Suku Bajo Torosiaje Laut terletak di kecamatan Popayato, kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo
Story by: Moonstar Simanjuntak
Editor: Eka Mahendra Putra