pengembaraindonesia,pengembara, keliling indonesia,gorontalo,backpacker,traveller,indonesia indah,jelajah indonesia

Gorontalo dan Cerita 2 Bule Jerman (Part 1)
Kawan saya Rahmat hidayat di gorontalo, foto di kampung torosiaje  

Pagi itu tanggal 26 Juni, pagi yang menjadi langkah baru dan mengharuskan saya meninggalkan tapak yang saya hentakkan di Tomohon, di rumah teman semasa kuliah saya dulu, Tomohon, di mana sebuah cita rasa kesederhanaan menyingkap sisi humanis saya.
    Pagi sekali, saya bangun, beres-beres ransel 100 liter, mandi dan tidak lupa ritual ngopi pagi hari, ibarat kata anak jaman sekarang kalau gak ngopi itu maka setengah nikmat hari akan lewat sia-sia. Ah, bisa-bisa merekalah.
    Lalu  tibalah saya harus berpamitan dengan keluarga Yudhy dan Gina. Ada semacam kesedihan harus meninggalkan mereka, terlalu singkat untuk sebuah pelajaran dan terlalu lama untuk sebuah pengembaraan. Yang pasti, saat akan mengucapkan salam perpisahan dengan keluarga baru saya itu, saya menyiratkan kebanggaan saya kenal dengan mereka. Mereka telah menanamkan arti dari kesederhanaan, tulus, kebahagiaan dan rasa percaya yang dibungkus rapi, lalu mereka 'titipkan' ke pori-pori saya untuk saya jadikan kitab baru di perjalanan panjang saya.
    Ah, saya pun harus rela berpisah dengan Brown, anjing lucu yang akrab menemani saya selama di Tomohon. Jaga keluarga ini, Brown, karena kamu berada di tempat yang tepat!.
Brown anjing yang berada di tomohon
    Oiya, sebelum saya pergi ibu Yudhy sempat memberikan saya bekal sederhana, saya kurang tahu apa namanya, tapi yang jelas bekal itu berbentuk abon yang dibuat dari ikan cakalang awet, abon itu kata ibu Yudhy cukuplah untuk bekal perjalanan beberapa hari. Bekal itu dititipkan ke Yudhy yang dengan iklhlasnya mengantar saya sampai ke terminal Manado, padahal lumayan jauh, terimakasih, Yud.
    Terminal itu namanya Malalayang, di sana terminal bis menuju Gorontalo dan Poso serta Luwuk.
    Saya langsung mencari bis yang tersedia, tapi ternyata bis hanya tersedia pukul 05.00 WIB menuju Gorontalo. Berhubung sudah telat saya diarahkan untuk menggunakan taksi gelap dengan membayar Rp 150 ribu untuk 8 jam perjalalan. Sekitar pukul 10.30 WIB kendaraan ini berangkat dengan 3 penumpang, saya dan ada 2 bule asal Jerman, kalau tidak salah yang satunya bernama Annet, mereka ini mau ke Togian dan beberapa hari rencana tinggal di Gorontalo.
    Bayangkan, 8 jam berada semobil dengan 2 bule mau tidak mau adalah cara 'sederhana' dan kepepet untuk melatih bahasa Inggris saya. Bahasa Inggris yang tak seberapa ini harus mengajak ngobrol 2 bule sekaligus, saya hanya berharap semoga grammer saya tidak acak-adul dan bikin malu bangsa, dan semoga juga itu bule-bule nanyanya gak rumit-rumit amat.
    Kami berhenti untuk makan sekitar pukul 14.00 WIB, saya yang membawa bekal dari ibu Yudhy memberanikan diri menawarkan abon itu ke 2 bule tadi, tentu dengan bahasa yang teramat sangat standar.
    Sekali cicip ternyata keduanya langsung jatuh cinta, mereka bilang rasanya gurih-gurih nikmat. Dalam hati saya bilang "Wajarlah, mamaknya Yudhy emang jago masak," itu kata saya dalam hati, karena kalau saya Inggris-kan tentu akan kacau balau, he.. he..he..
    Perjalanan kami menuju ke Gorontalo sebetulnya tidaklah lama, tapi karena keadaan jalan yang berkelok-kelok membuat mobil yang kami tumpangi tak bisa menekan pedal gas dalam-dalam. Tapi, tetap saja itu saya syukuri, sebagai seorang fotografer tentu saja keadaan itu tidak saya lewatkan percuma. Pemandangan menuju Gorontalo sangat indah, kita bisa melihat pulau-pulau kecil saat kita berada di jalan yang di atas permukaan laut. Indah!.
    Terkadang kala mobil kami melintasi hamparan hijaunya sawah, otak saya nelangsa seakan sedang berada di perjalanan pesisir pulau Jawa, di mana hamparan hijau sawah pasti bikin apapun jenis manusianya, pasti kagum.
    Ada yang menarik perhatian saat kami hampir sampai di Gorontalo, yaitu puncak Kwandang atau puncak panorama, pemandangannya jujur saya katakan, lebih baik berantem dengan sopir meminta dia berhenti, karena kalau terlewatkan kita akan rugi. Saya tak segan-segan minta sang sopir untuk berhenti sekedar menunggu saya untuk mengabadikan keindahan lokasi itu.
    Sungguh, sungguh indah pemandangan yang diberikan Tuhan di sana, ah sayang, waktu yang mepet bikin saya harus rela meninggalkan lokasi itu walaupun naluri fotografer saya bilang masih ratusan titik foto yang bisa saya abadikan.

    Tapi saya bertekad, satu hari nanti saya pasti akan datang lagi dan memotret sunset di situ. (bersambung)



Puncak kwandang 

Story by: Moonstar Simanjuntak
Editor: Eka Mahendra Putra

Postingan populer dari blog ini

Pengembara, pengembara keliling indonesia, gorontalo, travel, travelling, backpacker, jelajah indonesia, keliling indonesia

Menjajaki Bumi suku Baduy beserta Biaya

Monkey Forest Ubud Bali