https://www.grid.id/read/041800847/menyusuri-jejak-langkah-sang-pengembara-4?page=all


Menyusuri Jejak Langkah Sang Pengembara (4)

None - Senin, 29 Juli 2019 | 11:40 WIB
Grid.ID - Mengembara bagi  Moonstar Simanjuntak awalnya bagai mimpi. Namun mimpi itu mulai menjadi kenyataan di  tahun 2014. Berbagai peristiwa mengharukan dan ajaib pun dialaminya. Seperti apa Moonstar sang pengembara menggapai mimpinya? Ikuti kisah berikut ini
Kalau boleh jujur, sebenarnya mimpi saya untuk bisa menjejakkan kaki dari Sabang sampai Merauke, bermula dari proyek patah hati ke Flores.
Proyek tadi saya namakan Mendadak Jalan.
Dari situ saya justru ketagihan untuk jalan menyusuri keindahan Indonesia dan bertemu wajah-wajah saudara se-Tanah Air yang selalu bersahabat dan bikin rindu.
Nggak heran juga bila saya dijuluki ‘Si Panjang Kaki’, istilah yang familiar di Keluarga Batak. Lucunya, perjalanan ini berakhir bersamaan saat saya menemukan tambatan hati!
Single or Married?
Peristiwa hidup atau mati dikarenakan kecelakaan motor dasyat di tahun 2018--yang mengakibatkan luka parah di bagian rahang, mata hingga pergelangan tangan dan tak sadar tiga hari berturut-turut, membuat saya berpikir panjang untuk mengevaluasi proses hidup.
Di umur yang tak lagi muda (35 tahun) pertanyaan “Kapan menikah?”, kerap terlontar dari mulut orang-orang terdekat tanpa ampun. Awalnya, tak ambil pusing, toh saya sangat menikmati hidup sendiri (tidak berkeluarga) dan ogah dipersulit dengan persoalan rumah tangga.
Namun, satu kejadian membuka mata saya! Obrolan bersama tetangga yang juga seorang pemangku (rohaniwan), membuat saya berpikir tentang apa sebenarnya langkah selanjutnya dalam hidup setelah bisa merasa bahagia dengan diri sendiri.
Saat itu beliau memberikan contoh seorang Nenek (masih sanak saudara) yang hidup sendiri.
Semasa muda, ia merasa cukup dengan hidup sendiri.
Tapi, raut muka memang tidak bisa dibohongi. Sedikit banyak terbaca, bahwa ia lelah hidup sendiri.
Ia bahkan seringkali tersentuh ketika saya atau orang terdekatnya memerhatikan.
Tak perlu membelikan barang mewah, hanya jajanan sore yang bisa menambah nikmat teh hangatnya. Terbesit pertanyaan, “Apakah saya mampu sendiri sampai setua beliau?’
Dari situ saya mulai menyelami dibalik pertanyaan “Kapan menikah?” yang terdengar ancaman atau becandaan bagi para pria atau wanita single. Saya kembali teringat quote yang seringkali saya tulis di artikel sebelumnya: “Happiness is real only when shared “- Alexander Supertramp. Saya sadar ini adalah tanggungjawab besar dan awal dari sebuah petualangan dalam hidup.
Saya pun memutuskan menikah di tahun 2018 dan siap membagi kebahagiaan saya bersama I Gusti putu wiyani, yang kini berstatus sebagai istri dan juga ibu bagi anak kami, Sun Moonstar (4 bulan).
Pantang Gantung Kamera
Bagi saya, berkeluarga bukan kendala untuk eksplorasi mimpi dan passion. Meski tak bisa sebebas dulu, namun hal itu tak membuat jiwa fotografi saya surut. Kalau istilah orang-orang Ït’s in my blood”.
Bedanya, bila dulu ‘panjang kaki‘ sampai mengarungi lautan, sekarang yang ada di depan mata saja diarungi.
Sesekali, bila merasa bosan, saya cukup membidik kamera di pantai dekat rumah, Kedonganan, Jimbaran.
Jauh atau dekat, menggembara atau tidak, passion saya terhadap alam dan karakteristik budaya serta orang Indonesia masih membuat saya selalu bergairah untuk mencurahkan kecintaan terhadap fotografi.
Acara tradisi memapit
Foto-foto: Dok. Moonstar
Acara tradisi memapit
Ya, sedikit berbeda dengan keputusan banyak orang, setelah menikah saya lebih tertarik melakukan pekerjaan freelance untuk Majalah Lion Air dan Anadolu.
Kecil atau banyaknya uang yang dihasilkan tetap harus disyukuri. Kejadian menarik pun tak surut terjadi. Misalnya, sebelum menikah saya sangat getol menangkap momen erupsi Gunung Agung, Bali (pernah Erupsi di Tahun 1964 dan kembali erupsi di Tahun 2017), malah bisa dibilang terlalu bernapsu.
Pernah suatu kali karena ingin sekali dapat foto eksklusif saya melakukan perjalanan dari Lempuyang ke Tulamben, yang konon bisa melihat Gunung Agung lebih jelas dengan perjalanan 30 menit. Bukannya dapat, malah saya kelewatan momen berharga.Menariknya di tahun 2019, tanpa terencana saya mengunjungi Lempuyangan kembali.
Disana, saya disuguhkan kejadian alam erupsi Gunung Agung dengan mata telanjang di waktu orang-orang terlelap tidur.
Meski tak sempat membidik momen berharga lewat kamera, kejadian alam tersebut selalu ada di benak saya. Dari kejadian ini saya bisa bilang kalau alam itu bijak, tahu bagaimana ‘menggelitik’ jiwa manusia.

Berbagi Lewat Secangkir Kopi
Perjalanan tiga tahun mulai dari Fakfak, Papua Barat (2015) hingga Titik Nol, Sota, Merauke (2018), membuat saya mengenal banyak budaya.
Kejadian demi kejadian membangkitkan keinginan saya untuk bercerita tentang keindahan Indonesia kepada orang banyak.
Beruntung saya bertemu dengan Ibu Dewi, pemilik kost yang juga mempunyai lahan untuk mendirikan Kedai Kopi.
Setelah tiga bulan berencana, saya pun akhirnya membuka Kedai Kopi Moonstar di Jalan Segara Madu No, 1, Kedonganan, Jimbaran, Bali (2019). Di sana saya tidak hanya mengembangkan hobi di bidang Kopi, tapi juga memajang hasil jepretan jejak pengembaraan saya.

Di ruangan yang sederhana, saya menyuguhkan Kopi Tanah Toraja dengan cita rasa tidak terlalu pahit.
Aromanya pun sangat khas karena ditanaman berdampingan dengan tanaman rempah sehingga harum dan kenikmatannya mampu memuaskan para pencinta kopi.
Di satu sudut, pengunjung pun disuguhi pajangan kain Sumba, Sulawesi.
Kain bagi penduduk Sumba memiliki peranan penting menggambarkan kultur adat masyakarat. Dipakai pada upacara pernikahan hingga kematian.
Saya pun teringat pernah diberikan oleh-oleh kain Sumba oleh Kakak Merlin, penduduk yang sempat memberikan tumpangan tinggal.
Di sudut lain, pajangan topeng cukup mencuri perhatian. Ini dibuat oleh Pak Buda Tama Lewat beliau saya pun mendapatkan banyak cerita kehidupan.
Bagi saya kedai ini menjadi salah satu wadah untuk mengenalkan karakteristik budaya dari berbagai daerah asal saudara-saudara yang saya temui dalam perjalanan.
Ini jadi bentuk kehormatan dan rasa terima kasih saya terhadap mereka.
Selain itu, tempat untuk berbagi cerita soal kehidupan dan budaya. Harapannya ke depan tidak hanya memajang segelintir namun segudang Kebudayaan Indonesia.
Sampai sini, saya rasa mimpi Jejak Pengembara mampu diakhiri. Namun, petualangan lain baru saja dimulai.
Bila dulu gaya perjalanan tidak memiliki tujuan dan cenderung nekat, sekarang lebih harus berhati-hati dan terencana karena mimpi saya selanjutnya adalah bisa menginjakkan kaki kali kedua dari Sabang sampai Merauke bersama anak perempuan saya, Sunmoonstar!
“Jangan takut wujudkan mimpi yang dianggap orang mustahil. Komitmen melangkah dan sampai ke titik terakhir
(Dorris Jane Nainggolan)

Postingan populer dari blog ini

Pengembara, pengembara keliling indonesia, gorontalo, travel, travelling, backpacker, jelajah indonesia, keliling indonesia

Menjajaki Bumi suku Baduy beserta Biaya

Monkey Forest Ubud Bali