Jakarta_Bromo_Sempu_Backpacker_Mendadakjalan

Jakarta_Bromo_Sempu






Day 1
Jumat sore, terik matahari mulai menurun dan menua di stasiun kereta Senen, Mendadakjalan berusaha mendapatkan tiket perjalanan ke Malang dengan menggunakan Matarmaja. Namun sayang, mendapatkan tiket tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, bahkan membuyarkan perkiraan yang sebelumnya sudah saya perkirakan akan mudah, tiket kereta keberangkatan menuju Surabaya dan Malang habis untuk hari itu, usaha malang melintang mengunjungi para calo pun telah dilakukan namun tak ada informasi keberadaan dimana tiket hari ini dapat menghantarkan saya.
Bukan hanya satu kepala calo tiket, dua tiga orang saya kunjungi dengan harapan si bapak akan memberikan kabar bahagia justru menjadi duka. Ada kekhawatiran perjalanan ini tak akan tercapai hari ini, sementara di kepala sudah membayangkan bagaimana keadaan indah di atas gunung Bromo sana dan merasakan hangatnya matahari terbit di atas pulau Sempu.
Tidak ada kata menyerah bagi saya, mencoba lagi sampai benar – benar tidak bisa pergi hari ini adalah hal yang saya putuskan sekian detik saat rasa putus asa hampir menghampiri. Usaha berikutnya, “bertanya”, dan beginilah percakapannya.
“Pak, Kalau tiket ke Malang hari ini masih ada gak ya?”
“Waduh itu udah gak ada mas,” kilahnya.
“saya mau kesana hari ini pak, gimana saya bisa dapetin tiket itu ya pak. Saya minta tolong deh pak usahain gimana ya saya bisa berangkat kesana,”
 “Kalo mau ke Kediri dulu, nanti dari sana ke Malang itu dekat,” Kata salah satu Calo yang terlihat simpati pada saya yang hampir putus asa.
“oh gitu, tapi tiket ke Kediri-nya ada pak?”
“Ada” jawabnya singkat. Tak langsung saya menjawab kata “Mau” seketika keraguan datang di kepala saya, saya tidak pernah tahu jika melewati Kediri bagaimana kondisi jalan dan bagaimana nanti tujuan akan meleset dan tidak sampai.
“Gampang ko mas, nanti disana tanya – tanya aja.” Seperti membaca isi pikiran saya, si bapak seperti memberikan semangat baru bagi pejalan yang kian putus asa ini.
Akhirnya, dengan sedikit semangat baru, tiket menuju Kediri keberangkatan pukul empat sore telah di tangan saya dengan harga Rp. 180.000 padahal harga tiket brantas semestinya hanya 55.000, tak bisa kurang tak bisa lebih, begitulah nasib tidak baik bagi orang yang ingin mengabulkan keinginannya untuk pergi di hari itu juga.
Duduk dengan nyaman dan kereta mulai berangkat. Good bye Jakarta...


Day 2
“Welcome Kediri”
Sempat terpikir apakah ini Kota yang tengah kesepian atau suka menyendiri. Suasananya hampir seperti Kota mati, tidak banyak masyarakat seperti di Jakarta yang tiap detiknya selalu ingin lomba lari. Sampai kedua mata saya harus melihat arloji yang menunjukkan pukul enam.
“Oh pantas” tawa kecil disambut cahaya keemasan matahari mulai merambat di wajah saya. Mungkin ini masih terlalu pagi.
Entah apa yang saya lakukan saat menginjakkan kaki disini, pikiran saya belum selesai tentang Malang, namun udara disekitar saya tiba – tiba membuat segalanya menjadi kian menyemangatkan. Saya berusaha mencari bus yang menuju ke Kota yang saya tengah pikirkan, dengan bantuan Ojek seharga Rp. 15 ribu hingga matahari kian tinggi, setinggi ambisi saya untuk mencari dimana letak bus menuju Malang berada. Tiba diterminal, kendaraan ini harus saya rinci, mohon disimak.
Turun dari ojek, coba perhatikan apa yang saya lakukan :
-          Mencari angkot saat tiba di terminal transit menuju terminal Arjosari untuk mengejar keberangkatan bus tujuan Probolinggo
-          “Pucuk dicinta ulampun tiba” bus Probolinggo pun berhenti di depan mata saya dan terjadilah percakapan kecil di dalam bus itu dengan manusia berlogat Jawa disebelah saya. Dia tau kemana arah tujuan yang sudah tidak sabar ingin saya tuju. “Mas berhenti di Pasuruan aja, itu justru lebih cepat sampai dari pada mas harus ke Probolinggo dulu itu justru  jauh,” Katanya layaknya seorang petuah jalan di film – film pencari harta karun.. ehehe.. dengan pasti dia pun sudah meyakinkan saya untuk menuju perjalanan nan cepat versi si Mas dengan logat Jawa itu. Benar saja, dengan aksi aksi super hero saya menyetop bus itu saat sampai di Pasuruan, dan tawa saya mulai merekah. Entah kenapa, mungkin aroma gunung Bromo semakin dekat dan menyengat rasanya.  
-          ELF pun dengan baiknya menghampiri pengembara yang sedang tiba dipasuruan, tetapi tetap saja kebaikan ELF sebatas uang 5000 rupiah yang harus saya bayar atas jasanya menghampiri saya itu.
-          “HAI OJEK” dengan pura – pura akrab seperti mengenalnya sekian puluh tahun, akhirnya saya mencurahkan perasaan saya yang begitu ingin melihat keindahan atas ciptaan Tuhan yang paling cantik dan mempesona di tanah Malang ini, dan ia menjawab “Bromo”. Benar saja dengan motornya, saya menikmati perjalanan disekitar kanan dan kiri, saya mulai tenang dan diam menikmati detik – detik perjalanan yang Maha Indah ini, diselimuti rasa dingin yang mendekap begitu erat, saya begitu menikmatinya merasakan udaranya bahwa saya tidak sedang sendiri, dan mengucap syukur atas ambisi ini. Saya tiba di penginapan kecil di kaki gunung Bromo, Desa Wonogitri dengan harga 80.000 rupiah yang bagi saya justru tak ternilai harganya.

Dengan membayar 150.000 saja saya sudah dapat merebahkan kepala, melepas lelah sembari tak henti – hentinya berucap syukur atas kebahagiaan saya yang dapat mengabulkan keinginan saya disini.  Sedang nikmat – nikmatnya menysukuri, kepala saya sudah mulai bergemuruh lagi untuk berkeliling suasana yang tidak bisa kalau saya lewatkan hanya dengan bersantai – santai dan berebah – rebahan saja. Saya melihat semesta begitu megah dengan hal – hal indah, hingga dalam tiap langkah lamunan saya dipecahkan oleh suara makhluk – makhluk kecil yang paling saya sukai aktivitasnya, mereka tengah bermain bola, dan tak ada kata lain selain saya harus bergabung !
Tanpa menjelaskan, saya mengeluarkan kamera dan tanpa isyarat apapun lagi. Kaki – kaki kecil mereka berlarian menuju ladang, seperti tengah memberitahukan saya tempat paling menyenangkan bagi mereka membagi dukanya.
“Om pendaki ya?” salah satu dari mereka terlihat lincah dan cerdas menghampiri saya.
“iya”
“Kakak saya juga pendaki om, rumah saya disana, kalo mau saya anter ke kaka saya soalnya sama om dia juga suka naik gunung,” ungkapnya lugu dan saya pun mulai tersenyum mendengarnya. Seperti kesempatan baru apa lagi yang akan saya dapatkan disini.
Perkenalan saya dengan “MX” sapaan akrabnya dari saya sendiri, berdiskusi panjang lebar di beranda rumahnya, mulai dari awal perjalanan hingga rencana untuk pendakian besok menjadi tema diskusi pada sore menjelang magrib itu, tak kuasa aku menahan rasa keinginan untuk sampai diatas gunung itu pada esok hari, tawar menawar harga untuk menuju keatas sana deal dengan harga Rp. 150.000 rupiah saja, hingga menuju warung kecil langkah kami berdua mulai terhenti disana, menikmati cungkrik (minuman tradisional khas Wonogitri) bersama teman sebaya “MX” percakapan menjadi lebih panjang dan tenggelam pada  keinginan yang saya ucapkan pada mereka
“saya mau menikmati sunrise” lirih saya yang disambut anggukkan rekan baru saya.

Day 3



Pagi ini rasanya seperti tengah ingin menemui kekasih, mulai terasa semangat yang berlebih hingga tidurpun harus bangun pukul empat pagi. Namun sayang, perjanjian yang dibuat semalam tak juga mengabari saya baik lewat ponsel ataupun datang langsung. Entah pemikiran datang dari mana, saya terpikir bahwa rekan baru saya itu mabuk tadi malam dan alhasil menikmati kemabukannya itu hingga tak memberi kabar sedikitpun atas rencana kemarin malam.
Benar saja, tiba dirumah dia lekas meminta maaf karena telah melanggar rencana kemarin. Dengan meminta izin untuk berkemas menuju hal yang sangat saya inginkan, meski ada perasaan kesal, namun niat baiknya menghantarkan saya ke Puncak Gunung Bromo itu meluluhkan kekesalan saya seketika.
“yuk”
Pukul lima saya dan MX mulai hari ini dengan sisa – sisa kelelahan semalam, ramai pengunjung mulai terlihat dari kejauhan hingga mengakibatkan kemacetan rasanya diruas – ruas jalan pendakian. Namun, hal itu tidak mengganggu pandangan saya melihat Ke-Maha-Indah-Nya ciptaan Tuhan, hingga sontak saya mencari kamera dengan perasaan begitu besar ingin mengabadikannya. Kami sudah setinggi matahari, tetapi matahari belum setinggi kami berdua, meski begitu. Matahari mempersilahkan udara dingin datang lebih dulu beserta kabut – kabutnya menyambut kami berdua serta semua yang menyaksikannya. Banyak suara – suara disekitar saya mulai histeris melihat keagungan Tuhan yang lagi – lagi saya ucapkan begitu Indah dan damainya tak dapat dikalahkan oleh kedamaian apapun.
Menit menitpun mulai berlarian, sementara saya dikagetkan dengan tanggal kelahiran yang jatuh pada hari ini. Ya... hari ini saya berulang tahun dan merayakannya bersamaan dengan Matahari yang ikut dilahirkan Tuhan dihadapan saya dengan wajah secantik – cantiknya. Hal yang paling menggembirakan lebih dari sekedar kecupan dan kue ulang tahun kiriman kekasih, entahlah mungkin hari ini adalah hari dimana saya harus beromantis dengan Tuhan dan diri saya sendiri, atas hadiah baik kekuatan, keindahan, dan kepecayaan Dia pada saya yang hanya salah satu manusia yang tampak biasa saja dari sekian banyak manusia yang disayangiNya.

 


Menundukkan kepala dan meraih kamera, mengabadikan wajah paling Abadi dari setiap penantian panjang, memotret keagungannya menjadi hal yang sama artinya dengan berdoa dan memujiNya.
Usai memuaskan diri dengan kamera, tak urung niat saya untuk melewati sepagian ini dengan mengelilinginya, menjamahnya pada tiap bait bait keindahan dalam pemandangan dan langkah saya untuk menuju kaki bukit yang katanya ada Pura di sana. Hari cerah ini mulai menjadi samar, udara dingin kian berpasir, wah! Saya dan rekan baru ini tengah kedatangan badai pasir. Meski begitu perjalanan tetap dilanjutkan, yang kata rekan baru saya ini perjalanan paket bukan hanya sekedar ke Bromo, tetapi juga ke Pulau cantik bernama “SEMPU”!
Bergegas untuk mengejar sore menuju ke pulau Sempu saya diatarkan MX dengan 100.000 alhasil saya menuju terminal Arjosari hingga tiba disana pukul 12 siang saat matahari tengah terik – teriknya. Berlabuh pada angkutan umum menuju Gadang dengan membayar Rp 5000, dan dilanjutkan mini bus yang tiba di Turen dengan membayar Rp 5.000 juga menjadi harga yang perlu kalian catat rasanya. Hingga sampai di Turen untungnya masih ada angkutan Umum menuju Sendang Biru dengan biaya Rp 25.000, cukup melelahkan memang. Namun hal inilah yang menjadi pengetahuan baru bagi treveler seperti saya ini. Hehe..
SEMPU!
Pukul empat sore, saat matahari mulai menjadi jingga diangkasa, kepala saya disibukkan hitung menghitung biaya kapal yang menghantarkan saya menuju pelukannya, ternyata tidaklah murah untuk kepulau itu perhitungan hampir 500.000 dengan perincian kapal 100.000 sewa porter 250.000 tidak menginap dan 350.000 untuk yang menginap serta penyewaan tenda 1 malam 70.000. 
Namun, bukan treveler sejati namanya jika menerima biaya sekian dengan mentah – mentah. kembali akal mencari yang termurah akhirnya saya kenalan dengan nelayan setempat pak Basri sudi menghantar saya dengan dibayar 150.000 yang akhirnya saya putuskan berangkat ke Sempu dengan perasaan puas dan berbahagia, meskipun dengan bermodal “kenalan” perjalanan lebih ringan dengan orang yang kita kenali rasanya,

Hingga tiba disana pada malam hari suasana disana ternyata tak begitu sepi lantaran ada 2 kelompok yang sudah memasang tenda disana, dengan biasa menggunakan mulut alias sok kenal sok dekat,  saya meminta ijin untuk bergabung dan mereka terbuka untuk meneriam saya. Akhirnya dibantu rekan-rekan untuk mendirakan tenda saya berdampingan dengan mereka. Malamnya kita berbagi cerita soal perjalanan , saya tidak pernah merasa kesepian saya selalu bertemu orang baru dan pasti menjadi teman.
Sebelum memejamkan mata saya menyatakan trimakasih pada diri saya sendiri.
“trimakasih untuk hari ini dan selamat ulang tahun”










Day 4

“Wake Up”
Pagi di dataran Sempu begitu sempurna, Tidak sah rasanya jika hanya menikmati dengan berdiam diri, maka saya memutari pulau ini untuk memotret,  juga memutar imajinasi untuk terus menciptakan hal – hal indah dengan kamera dan mata saya ini. Padahal jika dibandingkan dengan malam saya tidak melihat keindahan apapun, tetapi tidak pada pagi hari, Luar biasa pulau ini bagi saya seketika.
Puas dengan ke-Indah-an ini, meski tidak ada kata lelah untuk memotret menjadi suatu keharusan bagi saya untuk kembali menapaki Jakarta untuk pulang, ada kegiatan dunia yang sudah semestinya saya kerjakan demi menikmati surga seperti ini lagi. Begitulah, rasanya segalanya dibuat seimbang oleh Pencipta alam semesta pemilik kehidupan ini. Tanpa dunia, saya tak dapat melihat dan merasakan surga, dan sebaliknya.
Hutan rimba macam apa yang belum kalian temui, cobalah untuk mencoba perjalanan kembali dari Sempu Island, perjalanan dua jam melangkahi hutan untuk mencapai keindahan.
Oia satu hal, Sempu itu seperti perempuan yang sempurna. Begitu sulit, begitu banyak tantangan, dan ranjau, tidak mudah untuk digapai, namun ketika di dapatkan ia begitu menawan dan memberikan keindahannya kepada seseorang yang berusaha penuh untuknya. Ihiy~
“Pelabuhan”
Tiba dipelabuhan dengan gaya lelaki gagah dengan gerakan selamat datang kepada Kapal yang tiba akhirnya saya masuk dan duduk tenang dengan pecuma alias tanpa bayaran, entah karena gaya tarian tadi atau memang ini kebaikan si empunya kapal. Tiba pukul 10 saya sempat bertemu pak Basri yang menjadi porter semalam. Menyelesaikan mandi dan makan di mess tempat tinggalnya bahkan sempat mengobrol dengan ibu Hartati yang menjadi bos pak Basri.
Perjalanan ekstra Awesome ini berujung pada seorang pengendara ojek yang dicarikan oleh si Bapak yang baik itu untuk ke Turen mengejar bus atau kereta menuju Jakarta, dan tak lupa saling menatap seperti Rose menatap Jack saat turun dari kapal Titanic untuk berpisah, agak lebay sih tapi ini terjadi.
Akhirnya saya tiba di Arjosari dan menemukan satu kendaraan berisi harapan untuk pulang dan tiba dengan nyaman. Yap,  bis Pahala Kencana menuju Jakarta berangkat dengan membayar 280.000. dan saya menikmati tidur pulas saya setelah beberapa hari kurang tidur.










Day 5
“Welcome home”
Sekitar pukul setengah dua siang saya tiba di Jakarta dan langsung memulai pekerjaaan saya seperti biasa seperti manusia pada umumnya “Bekerja”, meski harusnya tiba di Jakarta pukul sembilan namun dikarenakan macet di wilayah Pantura membuat saya mesti masuk siang. Terserahlah dengan kemacetan, memang begitu romantika Jakarta yang selalu dirindukan ketika kita berada disuatu tempat yang jauh dari keadaan ini. Meski begitu, inilah perjalanan saya kali ini bagi saya inilah perjalanan mengesankan, hanya mengabulkan ambisi dan keinginan, tak berpikir akan bagaimana di perjalanan yang jelas ini sebuah keberhasilan dari mengabulkan keinginan. Saya percaya akan satu hal, ambisi lah yang membuat kita mencapai sesuatu yang kita inginkan. Entah bagaimana prosesnya, keyakinanlah yang menyelamatkan orang – orang yang selalu percaya dengan dirinya sendiri, bahkan ketika keadaan tidak seindah harapan, namun keberhasilan akan ada pada diri orang – orang yakin. Keep reading my story gaes, karena mendadakjalan karena pasti akan menemukan kisah-kisah yang tak terduga keberuntungan maupun teman baru. See ya!

Editor : Alika Khanza

Photo  : Moonstar Simanjuntak














Postingan populer dari blog ini

Pengembara, pengembara keliling indonesia, gorontalo, travel, travelling, backpacker, jelajah indonesia, keliling indonesia

Menjajaki Bumi suku Baduy beserta Biaya

Monkey Forest Ubud Bali